Selasa, 20 Agustus 2019

Sejarah Pohon Cincau


Cincau adalah tanaman yang daunnya menghasilkan gel (jeli), semacam agar-agar untuk bahan minuman. Agar-agar cincau terasa segar dan tawar dengan aroma yang sangat khas. Selain lezat dan menyegarkan, cincau juga berkhasiat antipiretik (menurunkan suhu badan atau yang populer sebagai panas dalam), dan stomakikum (merangsang nafsu makan). Khasiat ini disebabkan leh adanya kandungan berbagai alkaloid, yang terdapat dalam butir hijau daun. Cincau bisa dikonsumsi secara tunggal dengan santan dan gula merah, bisa pula dengan campuran berbagai macam bahan. Dalam es campur, cincau dikonsumsi bersamaan dengan aneka buah. Biasanya blewah dan nangka, ditambah tapai dan bahan-bahan lain sesuai selera. Yang biasa dikonsumsi secara tungal adalah cincau hijau. Yang dicampur dengan berbagai bahan lain adalah cincau hitam.
                                     
Cincau hijau berasal dari dua jenis tanaman yang berbeda. Yakni cincau rambat (Cyclea barbata) dan cincau perdu (Premna oblongifolia). Sementara cincau hitam berasal dari tanaman Mesona palustris atau janggelan (gel dibaca seperti pada togèl dan gèlèng). Cincau rambat, sesuai dengan namanya merupakan terna berbatang lunak yang merambat dengan cara membelit. Batangnya berwarna hijau tua. Panjang batang bisa mencapai 4 sd. 5 m. untuk mencapai lokasi yang mendapat sinar matahari. Daunnya berbentuk jantung agak bulat, berwarna hijau tua dan dipenuhi bulu halus. Panjang dan lebar daun sekitar 10 cm. Ujung daun meruncing. Cincau rambat selalu berumah dua. Yakni bunga jantan dan betina berada pada dua tanaman yang berlainan. Bunga jantan maupun betina berupa dompolan pada malai kecil yang tumbuh menggantung dari bekas ketiak daun (ruas batang). Buahnya berupa beri yang juga membentuk dompolan dengan butiran lonjong ukuran 0,5 cm.. Ketika muda, buah berwarna hijau dan menjadi putih kecokelatan ketika masak. Di dalam buah ini ada biji berwarna hitam yang bisa disemai.


Cincau rambat membentuk rimpang (umbi) di dalam tanah. Panjang umbi bisa sampai 50 cm. dengan diameter 2 sd. 3 cm. Warna kulit umbi cokelat cerah dengan bagian dalam keputihan. Dengan adanya umbi ini, tanaman cincau yang pada musim kemarau mengering seluruhnya, pada awal musim penghujan akan menumbuhkan tanaman baru. Rimpang ini bisa dipotong-potong sepanjang 2 cm. untuk disemai. Dalam waktu antara 2 sd. 3 bulan, potongan rimpang akan menghasilkan individu tanaman baru. Cincau rambat bisa ditanam dengan dirambatkan pada tanaman lain. Misalnya lamtoro atau gamal. Bisa pula dibuatkan para-para dan pagar sebagai rambatan. Arah pagar sebaiknya dari utara ke selatan agar distribusi sinar matahari bisa merata. Dari satu individu tanaman, daunnya bisa dipanen sebulan sekali. Produktivitas daun cincau rambat tidak terlalu besar. Meskipun aroma (rasa) cincaunya lebih lezat dan harum dibanding cincau perdu.

Seperti namanya, cincau perdu memang berupa perdu yang bisa mencapai ketinggian 5 m. Namun untuk memudahkan pemanenan daun, biasanya tanaman selalu dipangkas hingga ketinggiannya selalu terjaga sekitar 2 m. Daun cincau perdu berbentuk lonjong dengan ujung meruncing. Warna daun juga hijau tua dengan ukuran lebar 8 cm. dan panjangnya 12 cm. Beda dengan daun cincau rambat yang berbulu halus, daun cincau perdu halus dan licin. Kalau daun cincau rambat tipis dan lemas (mudah ditekuk-tekuk), maka daun cincau perdu kaku dan tebal. Cabang dan ranting cincau perdu akan selalu mengeluarkan akar gantung seperti halnya pada tanaman ficus (keluarga beringin). Perbanyakan cincau perdu cukup dilakukan dengan setek. Sebaiknya setek diambil dari ranting atau cabang yang kulitnya sudah berwarna cokelat. Lebih baik lagi kalau ranting atau cabang tersebut sudah ditumbuhi oleh akar-akar gantung. Produktivitas cincau pedu lebih tinggi dibanding cincau rambat. Itulah sebabnya tukang cincau hijau selalu mengandalkan bahan dari tanaman cincau perdu. Bukan cincau rambat. Cincau perdu dan rambat, bisa tumbuh baik di dataran rendah sd. menengah.

Tanaman janggelan yang menghasilkan cincau hitam, berupa terna semusim berbatang lunak. Tinggi tanaman hanya sekitar 50 cm. dan sebagian dari tanaman tampak menjalar di tanah. Daun tanaman bulat  agak lonjong dengan ujung meruncing dan bergelombang. Lebar daun sekitar 3 cm. dengan warna hijau cerah. Kalau cincau rambat dan perdu hanya dipanen daunnya, janggelen dipanen dengan dipotong berikut cabang dan rantingnya. Juga beda dengan cincau rambat dan perdu, penghasil cincau hitam ini hanya tumbuh di dataran tinggi di atas 800 m. dpl. Di Indonesia, budidaya janggelan yang dilakukan secara serius antara lain terdapat di Kab. Blitar, Jawa Timur dan di Kab. Bogor, Jawa Barat. Namun industri cincau hitam justru terdapat di kota Surakarta, Jawa Tengah dan di Jakarta. Proses pembuatan cincau hijau dan cincau hitam memang berbeda. Cincau hijau dibuat dari daun segar, sementara cincau hitam dibuat dari janggelan yang telah dikeringkan.


Secara sederhana proses pembuatan cincau hijau dilakukan dengan meremas-remas daun cincau rambat atau perdu, sambil sedikit demi sedikit diberi air. Air hasil remasan ini disaring dan ditampung dalam wadah. Ampas dibuang dan air remasan daun yang berwarna hijau gelap itu didiamkan dalam wadah sekitar 1 sd. 2 jam sampai menggumpal membentuk agar-agar. Sambil menunggu mengerasnya cincau, kita bisa menyiapkan santan dengan gula merah. Caranya dibuat santan kental yang kemudian direbus bersamaan dengan gula merah. Karena kualitas gula merah yang dijual di pasaran sangat jelek, sebaiknya gula merah itu diiris halus kemudian direbus terlebih dahulu dengan air biasa. Setelah seluruh gula larut, air gula itu disaring untuk membuang kotoran yang terikut dalam gula merah. Baru kemudian cairan gula itu disatukan dengan santan untuk direbus ulang. Cincau hijau yang telah mengeras bisa langsung disendok sedikit demi sedikit, dicampur santan bergula dengan es dan langsung bisa dinikmati.
Produksi cincau hijau yang kemudian dipasarkan di Jakarta, dilakukan di kota Bogor. Daun cincau perdu dihancurkan dengan digiling menggunakan penggilingan sederhana, dicampur air dan disaring. Air dengan campuran hijau daun inilah yang kemudian dibiarkan membentuk agar-agar di dalam wadah untuk dipasarkan di kawasan Jabotabek. Sampai sekarang cincau perdu masih dibudidayakan secara terbatas. Budidaya cincau perdu paling banyak dilakukan di sepanjang pinggir rel kereta api dari Pasarminggu dan Klender menuju Manggarai. Sementara cincau rambat lebih banyak dibudidayakan secara terbatas untuk dikonsumsi di rumahtangga, terutama sebagai bahan obat tradisional. Budidaya cincau hijau yang masih sangat terbatas ini disebabkan oleh konsumen cincau hijau yang juga terbatas, tidak seluas konsumen cincau hitam.
Bahan cincau hitam berupa tanaman janggelan yang dibabat (disabit), dan langsung dikeringkan di lokasi, atau dibawa pulang untuk dikeringkan di rumah. Setelah kering, bahan ini akan ditampung oleh tengkulak. Ada pula tengkulak yang menebas (membeli borongan) janggelan yang masih ada di ladang. Pedagang inilah yang kemudian memanen janggelan dan mengeringkannya. Hasil panen janggelan dari berbagai daerah di Jatim dan Jateng, terutama dari Blitar, seluruhnya diangkut ke kota Surakarta. Di sini jenggelan digiling dan diayak (diekstrak). Hasilnya berupa serbuk cincau hitam yang kemudian dipasarkan ke seluruh Indonesia. Itulah sebabnya di kota besar mana pun, kita bisa menemukan es buah dengan cincau hitamnya. Di Jakarta, ada pedagang besar, yang tiap hari mencairkan serbuk cincau dan kemudian memadatkannya untuk dipasarkan di pasar-pasar tradisional. Tukang buah keliling atau restoran akan membeli potongan cincau yang sudah dipadatkan ini, untuk kemudian diecerkan  ke konsumen. Jalur perdagangan cincau hitam ini sudah berlangsung selama puluhan tahun secara nasional. Beda dengan cincau hijau yang pasarnya sangat lokal dan terbatas. Di kawasan Bogor, Jawa Barat, juga ada petani dan produsen cincau hitam untuk pasar Jakarta, bahkan juga untuk ekspor.

Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, sudah sejak lama ingin mengusahakan agar produk janggelan kering yang dihasilkan oleh provinsi mereka, diproduksi menjadi cincau hitam di Jawa Timur. Tanpa harus dikirim ke Surakarta. Beberapa kali pejabat Dinas Pertanian, marah-marah karena produk janggelan dari jatim harus diolah di Surakarta. Kemarahan para pejabat pertanian Jawa Timur ini sebenarnya tanpa disertai pengetahuan yang jelas mengenai komoditas cincau hitam. Kalau hanya sekadar memproduksi janggelan kering menjadi cincau hitam, siapa saja juga bisa melakukan. Yang menjadi masalah adalah menguasai jalur pemasarannya. Para perajin cincau hitam di Surakarta sudah puluhan tahun menguasai jalur pemasaran bahan minuman rakyat ini. Mereka bukan hanya menguasai jalur pasar tetapi juga memiliki modal. Sebab mulai dari membayar cash ke pedagang janggelan kering, sampai dengan menerima pembayaran dari distributor serbuk cincau hitam, memerlukan jangka waktu bisa sampai satu bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar